Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Masjid ini merupakan saksi bisu sejarah Aceh, terletak di pusat kota Banda Aceh dan merupakan kebanggaan masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol religius, keberanian dan nasionalisme rakyat Aceh. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama di Nusantara. Pada saat itu banyak pelajar dari Nusantara, bahkan dari Arab, Turki, India, dan Parsi yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu agama. Mesjid ini merupakan markas pertahanan rakyat Aceh ketika berperang dengan Belanda (1873-1904). Pada saat terjadi Perang Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar habis oleh tentara Belanda. Pada saat itu, Mayjen Khohler tewas tertembak di dahi oleh pasukan Aceh di pekarangan Masjid Raya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangun sebuah monumen kecil di depan sebelah kiri Masjid Raya, tepatnya di bawah pohon ketapang. Enam tahun kemudian, untuk meredam kemarahan rakyat Aceh, pihak Belanda melalui Gubernur Jenderal Van Lansnerge membangun kembali Masjid Raya ini dengan peletakan batu pertamanya pada tahun 1879. Hingga saat ini Masjid Raya telah mengalami lima kali renovasi dan perluasan (1879-1993).
Mesjid ini merupakan salah satu Mesjid yang terindah di Indonesia yang memiliki tujuh kubah, empat menara dan satu menara induk. Ruangan dalam berlantai marmer buatan Italia, luasnya mencapai 4.760 m2 dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan Mesjid. Mesjid ini dapat menampung hingga 9.000 jama ah. Di halaman depan masjid terdapat sebuah kolam besar, rerumputan yang tertata rapi dengan tanaman hias dan pohon kelapa yang tumbuh di atasnya.
Pinto Khop
Dibangun Pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Pinto Khop merupakan pintu penghubung antara Istana dan Taman Putroe Phang. Pinto Khop ini merupakan pintu gerbang berbentuk kubah. Pintu Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, disanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Disana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi bunga. Ditempat itu pula oleh Sultan dibangun sebuah perpustakaan dan menjadi tempat sang permaisuri serta Sultan menghabiskan waktu sambil membaca buku selepas berenang, keramas dan mandi bunga.
Gunongan
Gunongan merupakan simbol dan kekuatan cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya yang cantik jelita, Putri Phang (Putroe Phang) yang berasal dari Pahang, Malaysia. Alkisah, Putroe Phang sering merasa kesepian di tengah kesibukan sang suami sebagai kepala pemerintahan. Ia selalu teringat dengan kampung halamannya di Pahang. Sang suami memahami kegundahan permaisurinya. Untuk membahagiakan sang permaisuri, ia membangun sebuah gunung kecil (Gunongan) sebagai miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putroe Phang di Pahang. Setelah Gunongan selesai dibangun, betapa bahagianya sang permaisuri. Hari-harinya banyak dihabiskan dengan bermain bersama dayang-dayang di sekitar Gunongan, sambil memanjatinya. Gunongan terletak di Jalan Teuku Umara berhadapan dengan lokasi perkuburan serdadu Belanda (Kerkoff). Bangunan ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) pada abad ke-17. Bangunan Gunongan tidak terlalu besar, bersegi enam, berbentuk seperti bunga dan bertingkat tiga dengan tingkat utamanya sebuah mahkota tiang yang berdiri tegak. Pada dindingnya ada sebuah pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci. Dari lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan.
Kapal Apung Lampulo
Situs ini tetap dipertahankan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh untuk mengenang Musibah Tsunami yang melanda Kota Banda Aceh. Sebuah kapal yang terbawa Gelombang Tsunami dan terdampar di perumahan penduduk di kawasan Gampong Lampulo Kecamatan Kuta Alam.
Makam Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda merupakan tokoh penting dalam sejarah Aceh. Aceh pernah mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1607-1636 ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke 16. Saat itu Banda Aceh yang merupakan pusat Kerajaan Aceh, menjadi kawasan bandar perniagaan yang ramai karena berhubungan dagang dengan dunia internasional, terutama kawasan Nusantara di mana Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal niaga asing untuk mengangkut hasil bumi Asia ke Eropa. Beliau bisa bertindak adil, bahkan terhadap anak kandungnya. Dikisahkan, Sultan memiliki dua orang putera/puteri. Salah satunya bernama Meurah Pupok yang gemar pacuan kuda.Tetapi buruk laku Meurah, dia tertangkap basah sedang berselingkuh dengan isteri orang. Yang menangkap sang suami, di rumahnya sendiri pula. Sang suami mencabut rencong, ditusukkannya ke tubuh sang isteri yang serong. Sang suami kemudian melaporkan langsung kepada Sultan, dan setelah itu di depan rajanya sang suami kemudian berharakiri (bunuh diri) Sultan, yang oleh rakyatnya dihormati sebagai raja bijaksana dan adil, jadi berang. Meurah Pupok disusulnya di gelanggang pacuan kuda dan dipancungnya (dibunuh) sendiri di depan umum. Maka timbullah ucapan kebanggaan orang Aceh: Adat bak Po Temeuruhoom, Hukom bak Syiah Kuala. Adat dipelihara Sultan Iskandar Muda, sedang pelaksanaan hukum atau agama di bawah pertimbangan Syiah Kuala. Murah Pupok dikuburkan di kompleks pekuburan tentara Belanda yang terkenal dengan nama "KerKhoff Peutjoet".
Sumber : http://www.bandaacehkota.go.id/6/89Objek_Wisata.html#.UwX5EWK8-pc
Sumber : http://www.bandaacehkota.go.id/6/89Objek_Wisata.html#.UwX5EWK8-pc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar